Pendidikan dan Pengetahuan, Sosial Politik, Informasi Terbaru, Panduan dan Opini, Internet dan Blogging

Syah Shalat Jumat di Jalan Terkait Aksi Bela Islam Jilid 3, Ramadlan Xyz

Syah Shalat Jumat di Jalan Terkait Aksi Bela Islam Jilid 3, Ramadlan Xyz

Ramadlan.Xyz :: Syah Shalat Jumat di Jalan Terkait Aksi Bela Islam Jilid 3, Ramadlan Xyz
Ummat Islam akan mengadakan Aksi Bela Islam Jilid III pada 2 Desember 2016 mendatang. Aksi ketiga ini dilakukan karena melihat pemerintah tidak bersikap adil dan kerjanya sangat lambat, bahkan hanya untuk menahan seorang Ahok yang sudah jelas jelas melecehkan Alqur'an tidak cukup dengan 2x demo besar besaran ummat islam yang dikenal dengan "Aksi Bela Islam Jilid I dan Aksi Bela Islam Jilid II". karena sikap pemerintah seperti ini faktanya maka ummat islam akan mengadakan Aksi Bela Islam yang ketiga kalinya yang dikenal dengan "Aksi Bela Islam 212".

Aksi 212 ini mendapatkan banyak penggembosan dan fitnah, bahkan ada yang memfitnah aksi ini untuk memecah belah NKRI dan juga ada yang menggunakan istilah makar, dan masih banyak lagi istilah lainnya.

Ada juga pihak tertentu yang menggembosi dengan membahas tidak syahnya shalat jum'at di jalan yang akan dilaksanakan oleh Massa Aksi Bela Islam 212.
(baca juga: Aksi 212 Semakin digembosi Semakin Banyak Yang Mau Ikut By Ramadlan.Xyz)

Lalu bagaimana dengan hukum shalat jum'at di jalan terkait Aksi Bela Islam 212 ini?
Berikut saya akan memberikan jawaban jawaban yang sudah saya kumpulkan dari berbagai sumber:

Ini Kata Gus Sholah Soal Shalat Jum’at di Jalan

Sholahudin Wahid, akrab disebut Gus Sholah, angkat suara mengenai shalat jumat di jalan.

Gus Sholah yang merupakan adik kandung Abdurrahman Wahid ini, mengatakan tidak ada larangan sama sekali dalam Islam untuk menunaikan shalat Jumat di jalan.

Menurutnya, shalat Jumat di jalan boleh dilakukan. Terlebih jika masjid sudah tidak dapat menampung jamaah shalat Jumat lagi.

“Kalau memang tidak bisa menampung jamaah, ya apa boleh buat,” kata Gus Sholah, di Surabaya, lansir viva, Kamis, (24-11-2016).
Keinginan umat Islam untuk melakukan aksi di Jakarta pada 2 Desember mendatang, lanjut Gus Sholah, tidak perlu dilarang. Karena itu merupakan hak konstitusional setiap warga negara.

“Kalau menurut saya tidak perlu dihalangi keinginan mereka. Mau diapakan lagi kalau mereka mau unjuk rasa,” ujar Gus Sholah.

Terlebih, jika aksi itu dibarengi dengan kegiatan shalat Jumat, maka hal itu adalah sesuatu yang biasa.

“Konteksnya ini kan orang berbondong-bondong ke Jakarta untuk ikut shalat Jumat, jadi itu hak masing-masing individu,” jelas Gus Sholah.
https://www.islampos.com/ini-kata-gus-sholah-soal-shalat-jumat-di-jalan-319713/

Kata Gus Sholah Soal Shalat Jum’at di Jalan

Pengurus Besar Nadhlatul Ulama telah mengeluarkan fatwa larangan salat Jumat di jalan. Namun, suara berbeda disampaikan oleh ulama NU lainnya. Sholahudin Wahid atau Gus Sholah.
Adik kandung Abdurrahman Wahid ini mengatakan, bahwa tidak ada larangan sama sekali dalam Islam untuk menunaikan salat Jumat di jalan. Menurutnya, salat Jumat di jalan boleh dilakukan. Terlebih jika masjid sudah tidak dapat menampung jamaah salat Jumat lagi.
"Kalau memang tidak bisa menampung jamaah, ya apa boleh buat," kata Gus Sholah, di Surabaya, Kamis, 24 November 2016
Gus Sholah mengatakan, keinginan umat Islam untuk melakukan aksi di Jakarta pada 2 Desember mendatang tidak perlu dilarang. Sebab, hal itu merupakan hak konstitusional setiap warga negara. "Kalau menurut saya tidak perlu dihalangi keinginan mereka. Mau diapakan lagi kalau mereka mau unjuk rasa," ujar Gus Sholah.
Terlebih, jika aksi itu dibarengi dengan kegiatan salat Jumat, maka hal itu adalah sesuatu yang biasa. "Konteksnya ini kan orang berbondong-bondong ke Jakarta untuk ikut salat Jumat, jadi itu hak masing-masing individu," ujar pesaing Said Aqil Siradj dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang tersebut.
Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa terkait salat Jumat di jalan raya. Namun tidak dijelaskan apakah fatwa itu berhubungan dengan rencana sejumlah ormas Islam yang akan menggelar aksi pada 25 November atau 2 Desember.
"NU sudah mengeluarkan fatwa bahwa Jumatan di jalan tidak sah," kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/851971-gus-sholah-salat-jumat-di-jalan-tidak-dilarang

NU Garis Lurus juga menjawab hal ini, dan salah satu postingannya yang menjawab polemik ini adalah:

Meluruskan Fiqh PBNU: Sholat Jum’at Dijalan Sah Dan Boleh Jika Darurat

Moqsith Ghazali Bawa Nama PBNU Tidak Paham Fiqh Sholat Jum’at

Dalam website resmi NU Online http://www.nu.or.id/post/read/73131/ini-pandangan-fiqih-pbnu-soal-shalat-jumat-di-jalanan Tokoh liberal pendiri JIL yang menjabat sebagai Wakil Ketua
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU salah memahami ibarat imam Nawawi dalam kitab majmu’ sehingga mengambil kesimpulan sebagai berikut:

“Madzhab Syafi’i di dalam kitab Al Majemuk karya Imam An-Nawawi menegaskan bahwa shalat Jumat ini disyaratkan dilakukan di dalam sebuah bangunan meskipun terbuat dari batu, kayu, dan bahan material lain. Karenanya tidak sah melakukan ibadah Jumat di jalanan. Karena tidak sah, maka shalat Jumatnya harus diulang dengan melakukan shalat Zhuhur.”

Dan inilah kesimpulan yang parah sekali dikutip website detik  https://m.detik.com/news/berita/3351302/kajian-fikih-pbnu-salat-jumat-di-jalanan-tidak-sah

Berikut ini kami scan langsung dari kitab majmu’ Imam Nawawi tentang pembahasan ini. Intinya adalah kesimpulan Moqsith Ghazali yang membawa nama PBNU keliru, salah paham atau mungkin disengaja? Wallahu Alam.

Berikut kurang lebih keterangan dari majmu’:


“Berkata sebagian ashab kami dari mazhab syafi’ie bahwa sholat jum’at tidak disyaratkan didalam masjid tetapi boleh di lapangan terbuka dengan syarat lapangan atau tempat terbuka itu ada didalam desa atau daerah negara yang sudah ditetapkan batas -batas wilayahnya (majmu’ syarah muhadzzab 334/juz 4).

Jadi Dr Moqsith, salah memahami maksud pelaksanaan jum’at ‘di antara bangunan’ bukan di dalam ruangan bangunan. Adapun konteks masalahnya sholat jum’at di jalanan hukum asalnya adalah haram. Namun hukum haram bisa berubah boleh dalam keadaan darurat misalnya MASJID SUDAH TIDAK MUAT DAN CUKUP. Sesuai kaidah fiqh

الضرورة تبيح المحظورات

Darurat memperbolehkan sesuatu yang dilarang.

Wallahu Alam

Oleh M. Luthfi Rochman
http://www.nugarislurus.com/2016/11/meluruskan-fiqh-pbnu-sholat-jumat-dijalan-sah-dan-boleh-jika-darurat.html

Ada banyak pendapat bahwasanya NU mengeluarkan fatwa TIDAK SYAH SHALAT JUM'AT DI JALAN karena NU menerima pesanan hukum dari Ahoker, dan benar atau tidaknya berita ini saya hanya bisa menjawab dengan Wallahu A'lam.

Dan jika kita lihat pendapat yang lain menyebutkan, bahwasanya shalat jum'at di jalan atau di selain bangunan masjid itu boleh, dan hal ini juga bisa dilihat dari hadits nabi saw:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِى سَبْعَةِ مَوَاطِنَ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبُرَةِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَفِى الْحَمَّامِ وَفِى مَعَاطِنِ الإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzi, no. 346;).

Begitu juga dengan pendapat Ibnu Qudamah rahimahullah (lahir tahun 541 H, meninggal dunia tahun 620 H) menyatakan,
وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْجُمُعَةِ إقَامَتُهَا فِي الْبُنْيَانِ ، وَيَجُوزُ إقَامَتُهَا فِيمَا قَارَبَهُ مِنْ الصَّحْرَاءِ .وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ 
“Tidak disyaratkan untuk syahnya jumat untuk dilakukan di masjid. Boleh saja melakukan shalat Jumat di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Demikian juga yang menjadi pendapat dalam madzhab Abu Hanifah." (Al-Mughni, 3: 209).

Dan kalau melihat dari berbagai pendapat kita bisa mengambil kesimpulan bahwa hal ini masih ikhtilaf, dan seharus ummat islam terutama ulama tidak perlu memperbesar besar masalah yang memang ikhtilaf, kecuali memang ada maksud lain. sekian dari saya dan semoga tulisan saya ini ada manfaatnya amin.

Pasang Sponsor Disini, Sponsor Banner, Sponsor Gambar, Sponsor Artikel Dan Lain lain
Posted by admin, Published at 02.24 and have 2komentar

2 komentar:

  1. mengajak orang lain melakukan maksiat

    Dia mengajak masyarakat untuk bermaksiat, meskipun bisa jadi dia sendiri tidak melakukannya. Merekalah para juru dakwah kesesatan, atau mereka yang mempropagandakan kemaksiatan.

    Allah berfirman, menceritakan keadaan orang kafir kelak di akhirat, bahwa mereka akan menanggung dosa kekufurannya, ditambah dosa setiap orang yang mereka sesatkan,

    لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ

    Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada hari kiamat, dan berikut dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). (QS. an-Nahl: 25)

    Imam Mujahid mengatakan,

    يحملون أثقالهم: ذنوبهم وذنوب من أطاعهم، ولا يخفف عمن أطاعهم من العذاب شيئًا

    Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikutinya. Dan mereka sama sekali tidak diberi keringanan adzab karena dosa orang yang mengikutinya. (Tafsir Ibn Katsir, 4/566).

    Ayat ini, semakna dengan hadis dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

    “Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad 9398, Muslim 6980, dan yang lainnya).

    Ketiga, Membiarkan kemunkaran terjadi di tengah keluarganya, padahal dia mampu mengingatkannya

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kita untuk mengingkari kemungkaran yang ada di hadapan kita. Baik dengan tangan, lisan, atau minimal hatinya membenci.

    Dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radliyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
    “Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah meluruskannya dengan tangannya, maka jika tidak sanggup (hendaklah meluruskan) dengan lisannya, jika tidak sanggup (hendaklah dia meluruskan) dengan hatinya dan ini adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim 49).

    Bagian dari pengingkaran terhadap kemungkaran itu adalah menjauhinya dan bergabung dengan pelaku kemungkaran. Allah ingatkan para hamba-Nya untuk tidak kumpul dengan orang munafiq,

    وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

    “Sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sungguh (jika kalian tidak menyingkir), berarti kalian serupa dengan mereka.” (QS. an-Nisa: 140)

    Allah sebut, orang yang ikut nimbrung bersama orang kafir atau orang munafiq dalam melakukan kekufuran dengan “jika kalian tidak menyingkir, berarti kalian serupa dengan mereka.”

    Al-Qurthubi mengatakan,

    فَدَلَّ بِهَذَا عَلَى وُجُوبِ اجْتِنَابِ أَصْحَابِ الْمَعَاصِي إِذَا ظَهَرَ مِنْهُمْ مُنْكَرٌ ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَجْتَنِبْهُمْ فَقَدْ رَضِيَ فِعْلَهُمْ ، وَالرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلّ : (إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ) . فَكُلُّ مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسِ مَعْصِيَةٍ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ يَكُونُ مَعَهُمْ فِي الْوِزْرِ سَوَاءً

    Ayat ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku maksiat ketika mereka menampakkan kemungkaran. Karena orang yang tidak menjauhi kemungkaran mereka, berarti ridla dengan perbuatan mereka. Dan ridla dengan perbuatan kekufuran adalah kekufuran. Allah menegaskan, “Berarti kalian seperti mereka.” Sehingga semua yang duduk bersama di majlis maksiat, dan tidak menghingkarinya, maka dosa mereka sama. (Tafsir al-Qurthubi, 5/418).

    BalasHapus
  2. Ramadlan.Xyz29/11/16, 03.13

    Anonim@ saya baca berkali kali komentar anda, namun saya gagal paham. saya tidak paham hubungan komentar anda dengan postingan saya. mohon dijelaskan. terima kasih

    BalasHapus